Dalam tulisan kami sebelumnya berkaitan dengan kebangkitan kekuatan militer Republik Rakyat Cina, tak pelak lagi negara adidaya di kawasan Asia Timur tersebut bakal menjadi satu kekuatan baru baik secara ekonomi maupun militer. Dengan anggaran mencapai hampir 600 hingga 700 triliun rupiah pada 2009 lalu, rasa-rasanya tidak berlebihan jika Cina bakal menjadi ancaman yang berbahaya bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, tak terkecuali Australia yang sejatinya merupakan bagian integral dari persekutuan Amerika Serikat dan Eropa Barat di Asia Pasifik.
Yang lebih menakjubkan lagi, kedigdayaan Cina dalam bidang militer dan industri strategis pertahanan, bukan kerja sehari dua hari. Namun sudah dirintis oleh Deng Xiao Ping sejak 1978. Pada tahap awal, Cina mengembangkan sains dan teknologi, yang didorong dengan kepentingan militer. Pembangunan ini dimulai sejak jaman pemerintahan Mao Zedong. Ketika itu, pada dekade 1960-an, Mao menginginkan terbangunnya ‘militerisasi’ yang kuat di atas segala-galanya. Proyek ‘militerisasi’ inilah yang menjadi tulang punggung kebijakan Deng Xiao Ping pada fase selanjutnya ketika dia mengambil-alih tampuk kekuasaan Mao pada awal pertengahan 1970-an.
Bahkan dalam strategi modernisasi militer Cina, Deng melakukan beberapa langkah yang jauh lebih strategis dibanding Mao. Pertama, mendiversifikasi ekonomi Cina sehingga tidak hanya sektor hankam tetapi sekaligus juga merangsang dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sipil. Dengan kata lain, Deng mengintergrasikan petumbuhan sektor militer dan rakyat sipil, dengan memastikan memenuhi kebutuhan militer, mempertahankan kemampuan militer, dan menggunakan ekonomi sipil demi upaya modernisasi militer.
Berarti di era Deng modernisasi kekuatan militer Cina dilakukan dalam kerangka kebijakan militerisasi atas sektor-sektor sipil. Beruntung bagi Cina karena kebijakan modernisasi militer ala Deng tersebut didukung sepenuhnya oleh sistem ekonomi terpimpin sebagaimana lazimnya negara-negara yang menganut ideologi komunisme.
Selain pemerintah Cina secara leluasa menerapkan militerisasi sipil tanpa hambatan sama sekali, pada saat yang sama kebijakan militer Deng juga mendapat dukungan dana yang cukup besar dan nyaris tanpa batas. Betapa tidak. Kini nilai ekspor Cina melampui 1 juta triliun dollar dan merupakan ekonomi terbesar di dunia setelah AS dan Jerman.
Hal ini berkat kebijakan Deng menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan. Hasilnya luar biasa. Cina merubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia. Ekspor Cina naik sepuluh kali lipat (antara 1990 - 2003 bernilai sekitar $436 trilyun.
Uniknya, bagi Deng dan para penerusnya hingga sekarang, kebijakan ekonomi tersebut bukan merupakan liberalisasi ekonomi melainkan Sosialisme dengan ’Karakter Cina’ dan merupakan sistem ekonomi campuran. Reformasi yang dimulai sejak tahun 1978 telah diklaim oleh Cina berhasil mengangkat derajat jutaan manusia dari garis kemiskinan, menurunkan kemiskinan hinga 53% dari populasi negeri itu di tahun 1981 dan 8% di tahun 2001. Tentu saja ini merupakan versi resmi pemerintah Cina yang masih harus diverifikasi lebih lanjut. Namun setidaknya hal ini dijadikan oleh pemerintah Cina sebagai dalih kisah keberhasilan pemerintahan reformasi Cina pasca Mao Zedong.
Begitulah latarbelakang mengapa Cina dalam beberapa tahun belakangan ini berhasil meningkatkan kedigdayaan kekuatan angkatan bersenjatanya baik di matra laut, darat dan udara. Bayangkan saja, darimana Cina dapat uang sebesar itu sehingga memiliki 1900 unit pesawat tempur, helikopter 491 unit, 68 unit kapal selam, 6500 senjata kendali anti tank, 2400 sistem peluncur roket, dan 8200 tank.
Bukan itu saja. Sebagai bukti nyata adanya kebijakan militerisasi sipil disemua sektor, terlihat melalui fakta bahwa selain memiliki 2.255.000 tentara aktif, Cina juga memiliki 800.000 tentara cadangan. Belum lagi termasuk 3.969.000 paramiliter aktif.
Semua itu mustahil terwujud jika tidak didukung oleh jumlah anggaran belanja militer yang cukup besar. Karena itu menurut berbagai sumber informasi, anggaran militer Cina yang berkiasar 600 hingga 700 triliun rupiah tersebut, besar kemungkinan bukanlah jumlah yang sesungguhnya. Bisa jadi lebih besar dari itu.
Karena itu wajar jika Amerika Serikat cemas dengan perkembangan Cina yang begitu pesat dalam pembangunan dan pengembangan dibidang militernya. Hal ini terbukti melalui pernyataan Condoleeza Rice, yang ketika itu masih menjadi Menteri Luar Negeri. Berkata Codoleeza Rice: Cina bukanlah kekuatan ‘status quo’, tapi ia adalah kekuatan yang berkeinginan merubah keseimbangan kekuatan di Asia yang sesuai dengan kepentingannya. Kenyataan ini menjadikan Cina sebagai pesaing, bukan ‘mitra strategis’ sebagaimana yang didengungkan oleh pemerintahan Clinton.”
Maka, pemerintahan George W. Bush kemudian menerapkan kebijakan luar negeri Amerika yang jauh lebih agresif dan militeristik. Sehingga Departemen Pertahanan Amerika menggunakan potensi ancaman Cina tersebut untuk meningkatkan anggaran belanja militernya.
Pada sisi ini, Amerika nampaknya menjadikan ancaman Cina ini sekaligus untuk memperkuat persekutuan militernya dengan Jepang dan Korea Selatan. Inilah yang kemudian mendasari The American Enterprise Institute untuk merumuskan politik luar negeri pemerintahan Bush yang kemudian terbukti militeristik dan eskpansif, seperti yang dipertunjukkan dengan menginvasi Irak dan Afghanistan.
Masalah jadi semakin runyam ketika Amerika memberi angin kepada Taiwan dengan menawarkan penjualan senjata ke negara yang dulunya masih jadi satu dengan Cina daratan semasa pemerintahan Chang Kai Shek sebelum akhirnya terpaksa digusur oleh Rejim Mao Zedong ke pulau Formosa pada 1949.
Cina memang wajar marah kepada Amerika karena menawarkan bantuan militer kepada Taiwan yang notabene pesaingnya tersebut dengan bantuan senilai 6,4 miliar dolar AS. Apalagi ketika dalam bantuan tersebut juga mencakup penjualan sejumlah helikopter dan peluru kendali.
Bahkan tidak sampai di situ saja. Paket bantuan militer AS ke Taiwan juga mencakup penjualan 114 peluncur rudal Patriot, 60 unit helikopter Black Hawk, dan peralatan komunikasi bagi armada pesawat tempur F-16, demikian pernyataan DSCA. Kesepakatan itu tidak mencakup penjualan pesawat tempur F-16, yang selama ini diinginkan oleh Taiwan.
Tren ini sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus dari para analis dan pengambil kebijakan luar negeri di ASEAN termasuk Indonesia. Karena tren ini bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi konfrontasi militer secara terbuka antara AS-Cina sehingga pada gilirannya akan menyeret negara-negara Asia Pasifik masuk kancah perang antar negara adidaya sebagaimana diramalkan oleh pakar politik Amerika Samuel Huntington dalam bukunya the Clash of Civilization.
Sebagai catatan penutup, masih ada satu lagi fakta penting yang tidak boleh dianggap enteng. Saat ini, Cina tercatat sebagai pengimpor senjata paling besar, kebanyakan dari Rusia. Suatu fakta penting lain lagi yang kiranya perlu dicermati, bahwa ternyata persekutuan Rusia-Cina di bawah payung the Shanghai Cooperation Organization (SCO) ternyata masih tetap solid dan tidak pecah sebagaimana harapan beberapa kalangan perancang strategi keamanan nasional di Washington.
Sumber : Global Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar