Kamis, 15 Juli 2010

Tragedi Ain Jalut; Kontribusi Seorang Budak (Sultan Qutuz), Terhadap Eksistensi Islam

Setiap kali Saya melewati sekumpulan orang Arab, baik itu di Yaman maupun Mesir, selalu saja ada yang nyeletuk "Ya Shini" (wahai orang China) atau kalau di Yaman mereka biasa memanggil kami (orang Asia) dengan "Shini balalah", yang berkonotasi ejekan bagi kami.

Memang tak ada yang aneh dari ungkapan-ungkapan diatas. Hanya dalam hati saya, kemudian timbul beberapa pertanyaan: apakah orang-orang ini (baca: Arab) memang sulit membedakan antara kami orang Indonesia, dengan orang China? Mereka seenaknya saja memukul rata, bahwa kami yang memiliki karakter wajah Asia, adalah China.


Kadang saya juga berfikiran, atau bisa jadi motif dibalik asumsi yang beredar ini adalah explorasi besar-besaran negeri Tirai bambu tersebut dalam banyak bidang? Semisal dominasi pasar-pasar Timur tengah, yang berjubel dengan produk-produk China, maupun film-film Asia yang tengah bersaing ketat dengan Hollywood di industri perfilman Internasional. Sehingga wajah Indonesia seakan tenggelam, dan sama sekali tidak dikenal Dunia. Selain peringkat ketiga Negara terkorupnya.



Namun di saat Saya mengingat kembali sejarah, Saya langsung menepis anggapan dan asumsi tadi, bahwa tidak sesederhana itu. Yah, imajinasi Saya langsung terbayang saat pasukan Tar-tar membumi hanguskan Baghdad, dan meluluh lantakkan negeri pemasok peradan Islam terbesar tersebut.

Jangan-jangan hal ini yang melatar belakangi sentiment Arab terhadap China. Entahlah, yang pasti trauma dari tragedi menyakitkan ini akan terus terekam dalam benak tiap generasi Islam, terutama warga Arab yang mengalaminya.

Pukulan telak yang menembus jantung pertahanan pusat khilafah Islam kala itu, memang sangat mencederai kaum muslimin. Meski tidak sampai lumpuh total. Tapi, khazanah dan peradaban Islam yang sangat dibanggakan selama berabad-abad luluh lantak, manuskrip-manuskrip dari pencapaian pengetahuan Islam, berceceran disepanjang sungai Furat dan Dajlah.

Seandainya Mesir sebagai Negara bagian khilafah tak bisa bertahan, musnahlah Islam. Mesir yang waktu itu di pimpin seorang Sultan dari dinasti Mamalik (Al-Mudloffar Qutuz), berhasil membuat tentara Tar-tar kalang kabut dan lari tunggang langgang, Pasukan-pasukan khusus Tar-tar yang terlatih di madan perang, tak sanggup menjalankan tugasnya sesuai harapan. Gagal, dan pulang dengan bersimbah darah.

Sekilas Tentang Dinasti Mamalik

Mamalik; dalam Bahasa Arab adalah bentuk plural (jamak) dari "Mamluk" yang mempunyai arti Budak. Mereka ini awalnya adalah tawanan perang para penguasa Mesir dari Dinasti Ayyubiyah. Yang kemudian dididik dan dilatih perang oleh penguasa Ayyubiyah.

Puncaknya, pada masa Al-Malik Al-Shaleh (sultan terakhir Dinasti Ayyubi) para Budak yang terlatih ini dipercayai menangani tugas-tugas penting negara, dan mendapat hak-hak istimewa baik jabatan maupun material. Mereka umumnya berasal dari kawasan Kaukasus dan laut Kaspia.

Ketika Sultan Al-Malik Al-Shaleh meninggal (1249 M), dan kemudian digantikan anaknya Turansyah, para pejabat Mamalik merasa posisinya terancam, karena Sultan Turansyah muda secara terbuka lebih memihak suku Kurdi yang saat itu menjadi saingan politik Mamalik.

Maka mereka (Mamalik) bersepakat untuk melakukan konfrontasi menghabisi nyawa Sultan. Diawaki dua jendral perangnya Aybak dan Baybars, mereka berhasil memenggal kepala Sultan pada (1250 M),kemudian secara sepihak mengangkat permaisuri Syajarat Dur sebagai Ratu. Selang tiga bulan sang Ratu kemudian diperistri oleh jendral Baybak, maka sejak saat itulah Dinasti Mamalik resmi dibangun.

Serigala Haus Darah

Tak ada yang istimewa dari pemerintahan Dinasti Mamalik, selain catatan sejarah yang mengungkap kesuksesan "tragedi Ain Jalut", yaitu suatu lembah yang menjadi saksi patahnya sayap dominasi tentara Tar-tar untuk menjajah Negara-negara Islam.

Bengis, kejam, dan tak kenal ampun. Demikianlah sekilas potret Pasukan dari Mongolia ini. Setiap kota yang mereka singgahi akan menjadi abu. Mereka tak ubahnya adalah bangsa Bar-bar yang tak tau cara mengapresiasi sebuah peradaban.

Mula-mula mereka memulai dari dataran China, kemudian sampai ke Khurasan, Hamdan, Qazwin, memanjang ke Moro, Nisabur, Harat, dan terakhir Baghdad.

Tak ada satupun dari Negara-negara bagian khilafah tersebut, yang sanggup melawan dan mempertahankan kekuasaannya. Semua bertekuk di hadapan bangsa Tar-tar. Sejumlah pengamat menilai bahwa hal itu terjadi karena kelemahan Militer, dan ekonomi, serta konflik internal umat Islam dalam perebutan kekuasaan.

Mengenal Qutuz Salah Satu Sultan Mamalik Yang Berhasil Memukul Mundur Tentara Tar-tar

Dilahirkan sebagai budak yang dijual di pasar Damaskus, dia menghabiskan waktu mudanya di kota itu, dia terlihat cukup antusias membekali diri dengan ilmu agama dan kemiliteran. Sehingga kelak pemuda ini tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, dan bermental baja. Sesekali dia terlihat menghadiri majelis Al-Izz Ibnu Abdissalam Sultanul Ulama' (pemimpin ulama' kala itu).

Tak heran bila kemudian Qutuz muda, banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Al-Izz, untuk menyatukan umat Islam saat itu di bawah satu bedera, dan secara serempak mengusir tiap ancaman dan intervensi asing.

Tragedi Ain Jalut

Bersamaan dengan diserahinya tugas sebagai wakil sultan di Mesir, Qutuz mendengar kabar bahwa Baghdad sebagi ibukota khilafah Abasiyah telah berhasil ditaklukan tentara Tar-tar. Dia kemudian bergegas untuk menyusun kekuatan politik dan militer menghadapi Tar-tar. Beberapa intelejen dikirim ke Baghdad untuk mengetahui seberapa besar kekuatan musuh.

Dengan peran serta Al-Izz sebagai tokoh utama ulama' saat itu, Qutuz berhasil menghimpun kekuatan yang cukup tangguh untuk menghadapi gempuran Tar-tar, setiap pedagang dan orang kaya dipaksa untuk mengeluarkan harta bendanya, para pemuda diwajibkan mengangkat senjata, dan fatwa jihadpun mulai disiarkan ke seluruh pelosok negeri.

"Kemenangan atau mati syahid" demikianlah teriakan lantang pasukan Qutuz. Benalu di tengah kecamuk peperangan selalu saja ada dalam wujud pengkhianatan, warga Akka (salah satu kawasan Palestina) yang masih berada di bawah jajahan tentara Salib terbukti hendak berkhianat. Namun pengkhianatan ini tercium, dan berhasil diredam.

Tepat di "Ain Jalut" kedua pasukan saling berhadapan, dan peperanganpun tak terelakkan. Pasukan Tar-tar yang melihat kuda-kuda jantan dihiasi pernak-pernik berharga, dan persediaan bekal lengkap di tengah tentara kaum muslimin, menjadi semakin bergairah untuk merampasnya. Sementara pasukan Qutuz dengan lantangnya berteriak "wa Islamaah" (berjayalah Islam!), semakin melecut spirit mereka untuk menutup mulut besar pasukan Tar-tar dan segera mengakhiri krisis ini.

Keimanan yang kokoh disertai semangat yang menyala-nyala terbukti tidak sia-sia, pasukan Islam berhasil mempermalukan Tar-tar, dan memaksa mereka menelan pil pahit kekalahan yang sebelumnya tak pernah mereka mimpikan.

Dalam perang ini Sultan Qutuz sempat terjatuh dari kudanya. Tapi, dengan pertolongan Allah dia bisa bangkit lagi, dan tampil perkasa dangan tebasan pedangnya, yang berhasil memutus leher pimpinan perang pasukan Tar-tar (jendral Katab Ghu). Kemudian kepalanya diarak di jalanan kota Kairo, sebagai tanda perayaan.

Sultan Qutuz memangku jabatan setelah tragedi Ain Jalut tidak sampai satu tahun. Tapi, teriakannya di medan perang "wa Islamaah" masih akan terus terngiang di telinga sejarah. Yel sederhana, namun terbukti sanggup melecut nadi si pengecut menjadi berani, dan si lemah menjadi kuat. Akan terpahat indah dalam buku-buku sejarah.

Sehingga pasukan terlatih serta kaya pengalaman seperti Tar-tar bisa dibinasakan dan dikalahkan dengan sangat tragis. Keangkuhan dan kesombongan mereka, akhirnya teredam diam dan bisu ditelan sejarah.

Demikianlah, sekelumit tentang seorang budak di mata manusia, namun isensinya dialah tuan yang terhormat di hadapan Tuhan. Akhirnya sejarah selalu mencatat, bahwa Islam yang tidak mengenal ras, kasta, madzhab dan golongan akan (selalu) menjadi pemenang. Akankah kita umat Islam masa kini sudi melupakan perbedaan itu, untuk berdiri sejajar dibawah bendera La Ilaha Illalloh?
History make man wise.


26 Oktober 2008 M
Tajamuk Khomis, New Cairo

Sumber : Sibtufadil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar